Kamis, 21 Mei 2009

Model Pendekatan Pendidikan Matematika

MODEL PENDEKATAN BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA

(MENJAWAB TUNTUTAN BARU TERHADAP MATEMATIKA)


Tugas Akhir Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Dasar-Dasar Proses Pembelajaran Matematika

Dosen Pengampu : Sumaryanta, M.Pd.

Oleh:

Nama : Muhammad Istiqlal

NIM : 07600032


Program Studi Pendidikan Matematika

Fakultas Sains Dan Teknologi

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogyakarta

2009


DAFTAR ISI



Halaman Cover ………………………………………………………………………… 1

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 3


BAB II PEMBAHASAN.……………………………………………………………… 5

  1. Kedudukan Matematika ………………………………………………….. 5

  2. Matematika Konvensioal …………………………………………………. 6

  3. Paradigma Lama Cara Mengajar ……………………………………….. 8

  4. Evaluasi ……………………………………………………………………. 9

  5. Tuntutan Baru Pendidikan Matematika ………………………………… 9

  6. Matematika Masa Depan ………………………………………………….. 12

  7. Menjawab Tuntutan baru Terhadap Matematika ……………………… 13

  8. Dua model Baru Pendidikan Matematika di Sekolah ……………………. 14

  1. Reciprocal Teaching ……………………………………………………. 15

  2. Pembelajaran Matematika Realistik …………………………………. 16


BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………. 18

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….. 20










BAB I

PENDAHULUAN


Proses pembelajaran matematika di kelas akan sangat ditentukan oleh pandangan seorang guru dan keyakinannya terhadap matematika itu sendiri. Karenanya, ketidaksempurnaan memahami ‘matematika’ dari seorang guru sedikit banyak akan menyebabkan ketidaksempurnaan pada proses pembelajarannya di kelas. Kata lainnya, pandangan dan keyakinan yang benar terhadap pengertian serta definisi matematika diharapkan akan dapat membantu proses pembelajaran matematika yang lebih efektif, efisien, dan sesuai dengan tuntutan zaman. Pada intinya, pengertian matematika yang sesuai dengan tuntutan zaman sangatlah penting dan menentukan keberhasilan pembelajarannya. Masalahnya, jawaban pertanyaan ‘Apa itu Matematika’ tidaklah semudah yang dibayangkan. Jika Anda yang mendapat pertanyaan seperti itu, apa jawaban Anda?

De Lange (2005:8), seorang pakar pendidikan matematika dari Freudenthal Institute (FI), suatu lembaga di Universitas Utrecht yang sangat terkenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) menyatakan: “‘What is mathematics?’ is not a simple question to answer.” Yang jelas, faktanya adalah materi (content) matematika pada tahun 1900 jelas berbeda dengan materi matematika pada tahun 2007. De Lange (2005:8) mencatat ada sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang berbeda. Tidak hanya itu, kebutuhan (needs) para siswa terhadap matematika pada tahun 1900 akan sangat berbeda dengan kebutuhan para siswa terhadap matematika pada saat sekarang1.

Banyak orang menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan abstrak (keduanya benar), membosankan, malah menakutkan, hanya punya jawaban tunggal untuk setiap permasalahan, dan hanya dapat dipahami oleh segelintir orang (tidak seharusnya begitu). Ini adalah pandangan lama tentang matematika yang menganggap matematika bersifat absolut, sudah ada di alam sejak semula dan manusia hanya berusaha menemukannya kembali. Pandangan ini diperkuat lagi karena matematika diajarkan sebagai produk jadi yang siap pakai (rumus, algoritma) dan guru mengajarkannya secara mekanistis dan murid hanya pasif.2

Pandangan modern tentang matematika adalah sebaliknya: matematika adalah kegiatan manusia, dapat dipahami semua orang dan malah menyenangkan, berguna dalam kehidupan sehari-hari (problem-solving, modeling), suatu permasalahan mungkin mempunyai lebih dari satu jawaban, atau malah mungkin tidak punya jawaban sama sekali. Pandangan ini tentunya mengubah filsafat pendidikan matematika dan para dosen serta guru perlu memahaminya dan mempraktekannya dalam pekerjaannya.3


Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya perubahan definisi matematika, pembelajarannya, dan tujuan pembelajaran matematika di kelas. Tujuan dan proses pembelajaran matematika di kelas akan berubah sesuai perubahan waktu dan tuntutan perubahan kebutuhan siswa terhadap matematika. Karenanya, tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan wawasan baru kepada para guru matematika sehingga diharapkan sedikit demi sedikit akan ada perubahan pada proses pembelajaran di kelas ke arah yang lebih baik dan menguntungkan bagi masa depan bangsa ini.

Oleh karena itu, bagaimana sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap matematika dan juga tuntutan apa saja yang harus dipenuhi oleh pendidikan matematika? Pernyataan-pertanyaan seperti itu akan coba diulas dalam makalah yang sangat sederhana ini.










BAB II

PEMBAHASAN


  1. Kedudukan Matematika

Pada masa-masa lalu dan mungkin juga sampai detik ini, tidak sedikit orang tua dan orang awam yang beranggapan bahwa matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Menurut mereka, jika seorang siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik maka ia diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran lain. Begitu juga sebaliknya, seorang anak yang kesulitan mempelajari matematika akan kesulitan juga mempelajari mata pelajaran lain.Suka atau tidak suka seseorang terhadap matematika, namun tidak dapat dihindari bahwa hidupnya akan senantiasa bertemu dengan matematika, entah itu dalam pembelajaran formal, non formal maupun dalam kehidupan praktis sehari-hari. Matematika merupakan alat bantu kehidupan dan pelayan bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, teknik, ekonomi, farmasi maupun matematika sendiri.

Karena tingkat kesulitan mempelajarinya yang agak tinggi; matematika telah menjadi syarat utama memasuki fakultas-fakultas favorit seperti kedokteran dan teknik; sehingga sejak lama matematika dikenal sebagai saringan bagi para siswa. Kenyataan di kelas menunjukkan bahwa tidak sedikit siswa yang berhasil dengan mudah dan gemilang mempelajarinya namun masih banyak juga yang tidak berhasil mempelajari mata pelajaran bergengsi tersebut. Mengingat begitu pentingya matematika bagi setiap individu, masyarakat, dan bangsa; pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah:

  • Berapa prosen siswa Indonesia yang berhasil dengan gemilang

  • mempelajarinya.

  • Berapa prosen siswa Indonesia yang tidak berhasil mempelajarinya.

  • Jika banyak siswa yang tidak berhasil mempelajarinya, mampukah

warga bangsa ini bersaing dengan bangsa lain?

Mungkin diantara kita banyak yang bertanya bukankah saat ini sudah ada kalkulator dan komputer sehingga matematika sebagai alat bantu kehidupan menjadi berkurang? Memang benar, dengan kehadiran kedua alat tersebut banyak persoalan kehidupan yang awalnya mudah menjadi sulit, dan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Namun perlu diketahui bahwa alat-alat tersebut pun juga menggunakan prinsip matematika. Tanpa adanya prinsip-prinsip dan konsep matematika kedua alat tersebut yaitu kalkulator dan komputer tidak mungkin ada. Begitu pentingnya matematika dalam kehidupan maka tidak aneh jika pembelajaran matematika mengalami perkembangan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Bagaimanakah perkembangan pembelajaran matematika di dalam negeri?

Matematika selain sebagai salah satu bidang ilmu dalam dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang studi yang sangat penting, baik bagi peserta didik maupun bagi pengembangan bidang keilmuan yang lain. Kedudukan matematika dalam dunia pendidikan sangat besar manfaatnya karena matematika adalah alat dalam pendidikan perkembangan dan kecerdasan akal.


  1. Matematika Konvensional

Pengajaran merupakan bagian dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pengajaran di kelas semestinya selalu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengeksplorasikan pengalaman dan pengetahuannya dalam suatu tindakan nyata. pengajaran merupakan perpaduan dari dua aktivitas, yaitu : aktivitas mengajar dan aktivitas belajar. Aktivitas mengajar menyangkut peran seorang guru dalam konteks mengupayakan terciptanya jalinan komunikasi harmonis antara mengajar itu sendiri dengan belajar. Jalinan komunikasi yang harmonis inilah yang menjadi indikator suatu aktivitas dalam proses pengajaran itu baik. Sedangkan aktivitas belajar berhubungan dengan berbagai aktivitas yang melibatkan aktivitas raga dan indera seperti ; mendengarkan, memandang, meraba, menulis atau mencatat, membaca, membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi, mengamati tabel-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan, menyusun kertas kerja, mengingat, berpikir, latihan atau praktek, meraba, mencium dan mengecap/ mencicipi.

Jadi jelas perbedaan antara mengajar matematika dan belajar matematika. Paradigma pendidian matematika di sekolah pada masa lalu terkesan sangat monoton dan tidak dapat menjawab tuntutan terhadap kebutuhan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika oleh sekolah di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma mengajarnya. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan. Guru ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi adalah guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi. Dan, semua itu terbukti tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari. Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika lemah karena tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah. Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa.

Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan kolonial, pemerintah berbenah diri menyusun program pendidikan. Matematika diletakkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Saat itu pembelajaran matematika lebih ditekankan pada ilmu hitung dan cara berhitung. Urutan-urutan materi seolah-olah telah menjadi konsensus masyarakat. Karena seolah-olah sudah menjadi konsensus maka ketika urutan dirubah sedikit saja protes dan penentangan dari masyarakat begitu kuat. Untuk pertama kali yang diperkenalkan kepada siswa adalah bilangan asli dan membilang, kemudian penjumlahan dengan jumlah kurang dari sepuluh, pengurangan yang selisihnya positif dan lain sebagainya.

Kekhasan lain dari pembelajaran matematika konevensional adalah bahwa pembelajaran lebih menekankan hafalan dari pada pengertian, menekankan bagaimana sesuatu itu dihitung bukan mengapa sesuatu itu dihitungnya demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak bukan kegunaan, bahasa/istilah dan simbol yang digunakan tidak jelas, urutan operasi harus diterima tanpa alasan, dan lain sebagainya.

Urutan operasi hitung pada era pembelajaran matematika tradisional adalah kali, bagi, tambah dan kurang. ,maksudnya bila ada soal dengan menggunakan operasi hitung maka perkalian harus didahulukan dimanapun letaknya baru kemudian pembagian, penjumlahan dan pengurangan. Urutan operasi ini mulai tahun 1974 sudah tidak dipandang kuat lagi banyak kasus yang dapat digunakan untuk menunjukkan kelemahan urutan tersebut.

Contoh

12:3 jawabanya adalah 4

dengan tanpa memberi tanda kurung , soal di atas ekuivalen dengan

9+3:3, berdasar urutan operasi yaitu bagi dulu baru jumlah dan hasilnya adalah 10. Perbedaan hasil inilah yang menjadi alasan bahwa urutan tersebut kurang kuat.4

Sementara itu cabang matematika yang diberikan di sekolah menengah pertama adalah aljabar dan geometri bidang. Geometri ini diajarkan secara terpisah dengan geometri ruang selama tiga tahun. Sedangkan yang diberikan di sekolah menengah atas adalah aljabar, geometri ruang, goneometri, geometri lukis, dan sedikit geometri analitik bidang. Geometri ruang tidak diajarkan serempak dengan geometri ruang, geomerti lukis adalah ilmu yang kurang banyak diperlukan dalam kehidupan sehingga menjadi abstrak dikalangan siswa.


  1. Paradigma Lama Cara Mengajar

Pada proses belajar matematika di sekolah, guru cenderung menuliskan definisi atau teorema beserta buktinya dipapan tulis, dilanjutkan contoh penerapan teorema tersebut dalam penyelesaian soal, siswa mencatat apa yang dijelaskan guru dan contoh penyelesaian soal yang diberikan. Selain itu, guru menuliskan soal-soal dipapan tulis dan siswa diminta mengerjakan, serta guru meminta siswa untuk menuliskan hasilpekerjaannya di papan tulis.

Kondisi demikian bagi siswa yang pandai tidak merupakan masalah, tapi bagi siswa yang kurang memiliki kompetensi matematika atau membenci matematika, keikutsertaannya dalam belajar mengajar dalam kondisi tersebut tidak menyenangkan. Apalagi siswa yang demikian diminta guru untuk menyelesaikan soal di papan tulis, keluar keringat dingin seolah-olah mau pingsan. Pada situasi demikian tidak dimungkinkan adanya pertumbuhan kecerdasan emosional yang bermanfaat bagi siswa dalam kehidupan masyarakat.

Kesalahan-kesalahan konsep yang diajarkan tidak pernah mendapatkan cara untuk memperbaikinya, guru menganggap dirinya "serba bisa" dan menganggap apa yang diberikan kepada siswanya benar. Guru tidak pernah mendapatkan arahan yang benar bagaimana mengubah paradigma pengajaran menjadi pembelajaran, bagaimana menempatkan dirinya sebagai fasilitator, bukan selalu sebagai nara sumber informasi.




  1. Evaluasi

Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh5.

Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu tersebut.


  1. Tuntutan Baru Pendidikan Matematika

Masalah tidak senangnya siswa terhadap matematika sudah bukan rahasia umum. Perilaku-perilaku negatif siswa dalam belajar matematika merupakan muara sikap negatif siswa terhadap matematika. Akhirnya sikap negatif tersebut memungkinkan siswa tidak bergairah dalam belajar matematika dan pada akhirnya tidak memperoleh prestasi tinggi.

Banyak pengamat pendidikan matematika yang menganalisis bahwa kegiatan pendidikan matematika di sekolah merupakan sesuatu yang harus dirubah karena selama ini produk yang dihasilkan kurang bis menjawab tantangan atau tuntutan msyarakat. Dari pernyataan seperti inilah muncul optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Namun, masih juga tersisa keraguan dalam implementasinya ketika pulang kembali di sekolah dan menatap realitas pembelajaran matematika di kelas-kelas kita. Bagaimana mengimplementasikan gagasan dan pemikiran itu dalam konteks sekolah di Indonesia, mengingat konteks siswa kita yang sangat plural dan beragam? Kiranya perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Dan, hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang "hidup" di lingkungan sekolah masing-masing.

Tuntutan lain adalah bagaimana guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari yang namanya konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Masalah kontekstual dan realistik tidak mungkin ditemukan jika guru hanya diam, berpangku tangan, guru mesti terus bergerak, menggali, dan terus-menerus berusaha membumikan konsep matematika dengan menemukan hubungan atau keterkaitan bahan ajar matematika dan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan bahan ajar yang belum tersedia sebenarnya juga bisa menjadi peluang bagi guru untuk menyusun bahan ajar sendiri. Guru satu dengan yang lain bisa berkolaborasi sehingga memperkaya satu sama lain. Bukan hal yang mustahil jika hasil kolaborasi kelak menjadi buku materi ajar matematika realistik yang akan semakin memperkaya khazanah buku teks siswa di Indonesia.

Sudah bukan rahasia bahwa banyak diantara guru-guru kita di jenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai guru kelas menjadikan mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik baginya bahkan bisa jadi guru tesebut tidak mengenal matematika secara memadai. Akibatnya, matematika tidak diajarkan secara utuh melainkan hanya bagian-bagian yang ”dikuasainya” dan meninggalkan bagian-bagian yang lainnya. Inilah kemudian yang menjadi awal mengapa begitu banyak anak-anak gagal menyelesaikan rumah-rumahan kartu mereka dan dengan itu pula anak-anak merasa ”frustasi” dan tidak lagi bergairah belajar matematika.

Kompetensi atau kemampuan yang menurut De Lange (2004:12) harus dipelajari dan dikuasai para siswa selama proses pembelajaran matematika di kelas adalah:

  1. Berpikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning).

  2. Berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation). Dalam arti memahami pembuktian, mengetahui bagaimana membuktikan, mengikuti dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan menggunakan heuristics (strategi), dan menyusun argumentasi.

  3. Berkomunikasi secara matematis (mathematical communication). Dapat menyatakan pendapat dan ide secara lisan, tulisan, maupun bentuk lain serta mempu memahami pendapat dan ide orang lain.

  4. Pemodelan (modelling). Menyusun model matematika dari suatu keadaan atau situasi, menginterpretasi model matematika dalam konteks lain atau pada kenyataan sesungguhnya, bekerja dengan model-model, memvalidasi model, serta menilai model matematika yang sudah disusun.

  5. Penyusunan dan pemecahan masalah (problem posing and solving). Menyusun, memformulasi, mendefinisikan, dan memecahkan masalah dengan berbagai cara.

  6. Representasi (representation). Membuat, mengartikan, mengubah, membedakan, dan menginterpretasi representasi dan bentuk matematika lain; serta memahami hubungan antar bentuk atau representasi tersebut.

  7. Simbol (symbols). Menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan simbol baik formal maupun teknis.

  8. Alat dan teknologi (tools and technology). Menggunakan alat bantu dan alat ukur, termasuk menggunakan dan mengaplikasikan teknologi jika diperlukan.


Perhatikan kedelapan kompetensi yang ditawarkan De Lange di atas yang menunjukkan pentingnya mempelajari matematika dalam menata kemampuan berpikir para siswa, bernalar, memecahkan masalah, berkomunikasi, mengaitkan materi matematika dengan keadaan sesungguhnya, serta mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Sumber-sumber lain menawarkan hal yang sama namun dengan formulasi kalimat yang agak berbeda. Contohnya, National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM (2000), menyatakan bahwa standar matematika sekolah meliputi standar isi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), katerkaitan (connections), komunikasi (communication), dan representasi (representation).



  1. Matematika Masa Depan

Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima secara pasif.

Dengan demikian, siswa sendirilah yang harus aktif. Paradigma belajar juga seturut dengan teori Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan Freudenthal bahwa pengetahuan matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi. Oleh karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi (mengkreasi kembali) pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, tetapi menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal.

Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran matematika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup latar belakang keluarga, keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar, pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang diyakini, itu semua merupakan konteks nyata siswa. Konsekuensinya, dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktif atau realistik, maka pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan berbagai latar belakang dan konteksnya mendapat kesempatan untuk mengonstruksi pengetahuannya dengan strategi sendiri.

Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki peran paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika.

Selain itu faktor Budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh "menjelaskan dan pembenaran" dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.

Pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi Personal Siswa; situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi Sekolah/Akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi Masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di mana siswa tinggal. (4) Situasi Saintifik/matematik; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.

Dalam proses pembelajaran matematika, tentu saja sering kali siswa juga mengalami kesulitan dengan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu, guru perlu memberikan bantuan/topangan kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Topangan yang bisa diberikan guru, misalnya, pemberian petunjuk kecil, pemberian model prosedur penyelesaian tugas, pemberitahuan tentang kekeliruan dalam langkah pengerjaan soal, mengarahkan siswa pada informasi tertentu, menawarkan sudut pandang lain dan usaha menjaga agar rasa frustrasi siswa terhadap tugas tetap berada pada tingkat yang masih dapat ditanggung.


  1. Menjawab Tuntutan Baru Terhadap Matematika

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);

  2. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;

  3. Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan

  4. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Untuk memenuhi empat ciri-ciri di atas perlu diadakan renovasi radikal terhadap system pembelajaran matematika yang saat ini sedang berlangsung. Strategi-strategi yang diperlukan untuk mendukung berjalannya proses renovasi tersebut, yaitu:

  1. Strategi pertama, Seting kelas dalam pembelajaran. Seting kelas yang baik dimungkinkan perkembangan kecerdasan emosional apabila siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil, saling mengutarakan hasil pemikirannya, menghargai pendapat teman, menyelesaikan tugas bersama-sama, mempresentasikan apa yang telah dikerjakan kelompok, dan mendiskusikan hasil kerja masing-masing kelompok.

  2. Strategi kedua adalah pembelajaran yang bermakna. Langkahnya adalah menyeleksi materi yang akan dipelajari siswa, mengorganisasi materi yang dipilih sejalan dengan alam pikiran siswa. Guru harus memperkirakan bahwa materi yang dipilih dapat merangsang sensori ingatan, sehingga memori siswa mau bekerja untukmenerima rangsangan tersebut. Apa yang dipelajari dapat terintegrasi kedalam organisasi pengetahuan setelah memori siswa bekerja untukmemperoleh daya ingat yang lama.

  3. Strategi ketiga yaitu siswa dapat mengkonstruk kognitif sendiri. Seorang guru matematika lebih banyak menggunakan buku pelajaran sebagai acuan dalam belajar. Sebenarnya materi buku memang bersifat informatif, bagi guru seharusnya memiliki kompetensi untuk mengelola materi tersebut agar siswa dapat membangun konstruk kognitifnya.


  1. Dua Model Baru Pendidikan Matematika di Sekolah.

Setelah mengetahui berbagai tuntutan terhadap pendidikan matematika serta bagaimana ketidakefektifan pembelajaran matematika saat ini, maka penulis menawarkan dua model pendekatan baru yang digunakan untuk merubah paradigma pendidikan matematika di sekolah dan untuk menjawab tuntutan-tuntutan yang terjadi pada masyarakat saat ini. Dua model pendekatan tersebut adalah Reciprocal Teaching dan Pendidikan Matematika Realistik.


  1. Pendekatan Reciprocal Teaching

Reciprocal Teaching adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menerapkan empat strategi pemahaman mandiri, yaitu menyimpulkan bahan ajar, menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya, menjelaskan kembali pengetahuan yang telah diperolehnya, kemudian memprediksikan pertanyaan selanjutnya dari persoalan yang disodorkan kepada siswa (http://digilib.upi.edu/). Palincsar (1986) describes the concept of reciprocal teaching: Reciprocal teaching refers to an instructional activity that takes place in the form of a dialogue between teachers and students regarding segments of text. The dialogue is structured by the use of four strategies: summarizing, question generating, clarifying, and predicting. The teacher and students take turns assuming the role of teacher in leading this dialogue.6

Konsep di atas, menjelaskan tentang penerapan empat strategi pemahaman dalam pendekatan Reciprocal Teaching yaitu: merangkum (meringkas) atau menyimpulkan, menyusun dan menyelesaikan, menjelaskan kembali, dan memprediksi pertanyaan. Menurut Palincsar dan Brown seperti yang dikutip oleh Slavin (1997) bahwa strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran atau pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik Dengan menggunakan pendekatan reciprocal teaching siswa diajarkan empat strategi pemahaman dan pengaturan diri spesifik, yaitu merangkum bacaan, mengajukan pertanyaan, memprediksi materi lanjutan, dan mengklarifikasi istilah-istilah yang sulit dipahami. Untuk mempelajari strategi-strategi tersebut guru dan siswa membaca bahan pelajaran yang ditugaskan di dalam kelompok kecil, guru memodelkan empat keterampilan tersebut di atas (Nur, 2004). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan Reciprocal Teaching merupakan strategi dalam pembelajaran yang menekankan pada pemahaman mandiri siswa, sehingga dapat meningkatkan penguasaan konsep matematika7.


  1. Pembelajaran Matematika Realistik8

Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil”. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.

Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.

Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap individu. Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:

  1. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.

  2. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

  3. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.

  4. Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan.






BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

    1. Matematika selain sebagai salah satu bidang ilmu dalam dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang studi yang sangat penting, baik bagi peserta didik maupun bagi pengembangan bidang keilmuan yang lain. Kedudukan matematika dalam dunia pendidikan sangat besar manfaatnya karena matematika adalah alat dalam pendidikan perkembangan dan kecerdasan akal.

    2. Pembelajaran matematika konevensional adalah bahwa pembelajaran lebih menekankan hafalan dari pada pengertian, menekankan bagaimana sesuatu itu dihitung bukan mengapa sesuatu itu dihitungnya demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak bukan kegunaan, bahasa/istilah dan simbol yang digunakan tidak jelas, urutan operasi harus diterima tanpa alasan, dan lain sebagainya.

    3. Pada pembelajaran Matematika konvensional, kesalahan-kesalahan konsep yang diajarkan tidak pernah mendapatkan cara untuk memperbaikinya, guru menganggap dirinya "serba bisa" dan menganggap apa yang diberikan kepada siswanya benar. Guru tidak pernah mendapatkan arahan yang benar bagaimana mengubah paradigma pengajaran menjadi pembelajaran, bagaimana menempatkan dirinya sebagai fasilitator, bukan selalu sebagai nara sumber informasi.

    4. Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran matematika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup latar belakang keluarga, keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar, pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang diyakini, itu semua merupakan konteks nyata siswa. Konsekuensinya, dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktif atau realistik, maka pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan berbagai latar belakang dan konteksnya mendapat kesempatan untuk mengonstruksi pengetahuannya dengan dengan strategi sendiri.

    5. Dua model pendekatan baru yang digunakan untuk merubah paradigma pendidikan matematika di sekolah dan untuk menjawab tuntutan-tuntutan yang terjadi pada masyarakat saat ini. Dua model pendekatan tersebut adalah Reciprocal Teaching dan Pendidikan Matematika Realistik.



















DAFTAR PUSTAKA

http://jurotunguru.wordpress.com/2008/01/22/pendidikan-matematika-realistik/

http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/25/pendidikan-matematika-realitik/

http://one.indoskripsi.com/node/3535

http://www.mathematic.transdigit.com/mathematic-article/portofolio-dan-paradigma-baru-dalam-penilaian-matematika.html

www.pmri.or.id/paper/pap03.doc

www.pmri.or.id/pww.pmri.or.id/paper/pap01.doc

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1685335-pendidikan-matematika-bagi-magang-guru/

http://www.mathematic.transdigit.com/mathematic-article/portofolio-dan-paradigma-baru-dalam-penilaian-matematika.html

http://www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg50378.html

http://media.diknas.go.id/media/document/5214.pdf

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0610/30/humaniora/3052338.htm

http://www.uny.ac.id/data.php?i=1&m=951da6b7179a4f697cc89d36acf74e52&k=5788






2 http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/25/pendidikan-matematika-realitik/


3 ibid


4 http://jokobando.tripod.com/index_files/perkemb.htm


6 http://pendidikan-matematika.blogspot.com/2009/03/proposal-pendekatan-reciprocal-teaching.html


7 Ibid


8 http://jurotunguru.wordpress.com/2008/01/22/pendidikan-matematika-realistik/


Template by : kendhin x-template.blogspot.com