Senin, 16 November 2009

Masyarakat Madani di Indonesia

Masyarakat madani sebenarnya merupakan sebutan atau nama lain dari masyarakat sipil, yang diterjemahkan dari kata civil society. Pemkiran-pemikiran yang berkembang di dunia barat, khususnya di Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang saat itu sangat fokus perkembangan politik, ekonomi dan sosial budaya di bekas Uni Soviet dan Eropa Timur, telah memberikan imbas terhadap lahirnya istilah civil society atau masyarakat madani. Indonesia saati itu yang termasuk dalam blok sosialis tengah dilanda badai liberalisasi dan demokratisasi. Banyak kalangan akademi muncul membicarakan konsep masyarakat madni ini.
Di Indonesia, -- dalam kaitannya dengan konsep masyarakat sipil ini --, kita lebih banyak berbicara mengenai demokratisasi politik atau liberalisasi ekonomi, semacam glasnots dan perestroika seperti yang merebak di Rusia pada dasawarsa '80-an. Konsep masyarakat sipil sendiri di Indonesia adalah sebuah istilah asing atau baru, yang ditanggapi dengan penuh kecurigaan, pengertian "sipil" itu dikesankan sebagai berkaitan dan tandingan dari "militer", yang dalam masyarakat hadir dalam bentuk dwi-fungsi ABRI itu. selengkapnya...

Active Learning

Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian anak didik berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa siswa dalam ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama perthatian siswa dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir.
Lebih lengkap klik disini

Refleksi pembelajaran Aljabar Linear Elementer

Aljabar Linear Elemneter, selanjutnya akan lebih sering disebut ALE, merupakan sebuahnama yang asing bagi siapapun yang tidak mendalami ilmu matematika secara khusu. Bahkan untuk mahasiswa matematika sekalipun, ketika mendengar sebuah nama ALE akan selalu bertanya-tanya. Namun pada kenyataannya ALE tidak jauh berbeda dengan materi yang dipelajari ketika di bangku SMA. Bahkan pada umumnya materi pada ALE yang identik dengan materi matematikan di SMA dianggap materi yang tergolong mudah. Bukan bermaksud meremehkan sedikitpun, itulah kenyataan pada awalnya. Namun dalam ALE materi-materi itu disuguhkan dalam bentuk yang rumit dam dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi.
Dari situlah muncul berbagai polemik baik dari segi mmateri maupun dari segi metode pengajaran. Justru dari sinilah sisi yang menarik dari ALE diperoleh para mahasiswa. Banyak sekali nilai kehidupan, terutama khidupan social masyarakat yang dapat dianalogikan dalam pembelajaran ALE. Mahasiswa, sadar atau tidak, telah dilatih untuk siap terjun dalam masyarakat. Meskipun hanya sebuah analogi, namun dari sinilah terjadi simulasi-simulasi kehidupan social masyarakat yang terjadi secara periodic, minimal seminggu sekali. Nilai-nilai apa yang dapat diambil dari pembelajaran ALE, serta bagaimana analogi dan aplikasinya dalam masyarakat, berikut akan dipaparkan secara terperinci.lebih lengkap klik disini

Selasa, 10 November 2009

Fungsionalisasi Agama

Fungsionalisasi Agama
dalam Dinamika Kehidupan Umat Beragama
Oleh:Drs.Abror Sodik, M.Si.

Pengertian Agama
Agama, sebagaimana dipahami para antropolog atau sosiolog, didefinisikan sistem yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci (Suparlan,1998). Definisi lain menyebutkan bahwa fungsi agama adalah media untuk mencapai keselamatan baik bagi penganutnya maupun bagi masyarakat luas. Hendropuspito (1984) memberi definisi agama sebagai suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh para penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dapat didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya. Dua definisi agama di atas lebih memperlihatkan definisi yang empiris dan deskriptif,mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Selengkapnya download disini

Materi Program Linear

Program Linear merupakan mata kuliah yang fungsinya untuk mencari nilai optimasi.
Bagi temen yang sedang mengambil mata kuliah Prolin. Ini ada materi nya...silakan download disini

Senin, 19 Oktober 2009

Demonstrasi, antara Idealisme dan Anarkisme

Demonstrasi, Masih Efektifkah

Demonstrasi, masih perlukah? Antara idealisme dan anarkisme

Merdeka..Merdeka..begitulah suara-suara penyemangat yang terlontar ketika terjadi demonstrasi di manapun. Seolah menggambarkan keadaan rakyat yang ingin merdeka dengan sebenar-benarnya.

Seabreg permasalahan di Indonesia. Tak hanya dirasakan orang-orang dibawah garis kemiskinan, kaum terpelajar dan seluruh komponen masyarakat pun tampaknya sudah cukup gerah dengan permasalahan yang ada. Bagi mereka yang pasrah, lebih memilih diam untuk dijadikan pelipur lara.Lebih lengkap silakan download disini


Sabtu, 17 Oktober 2009

Mobile Learning

MOBILE LEARNING DAN MANFAATNYA

Selama dekade terakhir pembelajaran melalui ponsel telah berkembang dari sebuah penelitian kecil menjadi penelitian penting di banyak sekolah, tempat kerja, museum, kota dan daerah pedesaan di seluruh dunia. Komunitas Mlearning masih terfragmentasi dalam lingkungan masyarakat, dengan berbagai sudut pandang nasional, perbedaan antara akademisi dan komputer, dan antara sekolah, pendidikan tinggi dan sector pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning).
Belajar melalui fasilitas e-learning semakin marak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya mereka yang melek IT saja, namun anak-anak maupun mereka yang gaptek pun dapat belajar dengan e-learning. Salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah penggunaan internet yang semakin hari semakin luas di lingkungan kita. Internet itu sendiri. Kini tidak hanya dapat diakses melalui komputer namun dapat pula diakses menggunakan perangkat mobile. Salah satunya yang utama adalah telepon seluler (handphone). Dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, banyak aplikasi mobile yang telah dikembangkan. Perkembangan teknologi juga melahirkan sebuah konsep pembelajaran baru yaitu e-learning. Perkembangan teknologi aplikasi mobile dan e-learning telah menciptakan suatu bentuk pembelajaran baru, yaitu mobile-learning atau m-learning. Teknologi telekomunikasi dan teknologi internet menjadi kecendrungan baru diseluruh dunia. Perkembangan ini memungkinkan adanya terobosan baru dalam pembelajaran secara mobile menggunakan perangkat piranti genggam atau disebut mobile learning (m-learning). M-Learning memiliki kemampuan belajar kapanpun dan dimanapun.
Penggunaan perangkat seluler sebagai media e-learning tidaklah berlebihan apabila kita melihat fakta-fakta berikut ini:
· Pengguna telepon seluler di Indonesia yang mencapai lebih dari 96.410.000, teledensitas 36,39 % dengan tingkat prosentase pertumbuhan pelanggan telepon seluler mencapai 28,26 % pertahun. (sumber: balitbang depkominfo)
· Akses internet melalui perangkat telepon seluler canggih seperti Blackberry, iPhone, PDA, maupun smartphone-smartphone lain menjadi hal yang lumrah belakangan ini.
· Akses dan transfer data menggunakan jaringan telepon seluler yang semakin murah dan cepat.
· Pembuatan aplikasi-aplikasi untuk smartphone yang semakin mudah, dengan menggunakanJ2ME maupun BREW.
Fenomena-fenomena tersebut tentunya menjadi celah yang menjanjikan bagi perkembangan mobile learning di Indonesia. Lebih lengkap tentang Mobile Learning, Silakah download disini

PENGEMBANGAN KOMPETENSI PESERTA DIDIK
DENGAN TEORI BELAJAR PERILAKU

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan Pembelajaran Matematika
Dosen pengampu : Suparni, M.Pd.

Oleh :
Nama : Muhammad Istiqlal
NIM : 07600032

Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
2009
PENGEMBANGAN KOMPETENSI PESERTA DIDIK
DENGAN TEORI BELAJAR PERILAKU

I. Pendahuluan
Dunia pendidikan Indonesia saat ini setidaknya menghadapi empat tantangan besar yang kompleks. Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah (Added value), yaitu bagaimana meningkatkan nilai tambah dalam rangka meningkatkan produktivitas, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan yang bekelanjutan. Kedua, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat. Yaitu bagaimana meningkatkan daya saing bangsa dalam meningkatkan karya-karya yang bermutu dan mampu brsaing sebagai hasil penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
Setiap orang memiliki gaya belajar individual yang berbeda satu sama lainnya. Sebagian orang belajar dengan baik secara berkelompok. Sebagian yang suka belajar sambil duduk di kursi, sedangkan yang lain senang belajar sambil berbaring atau lesehan di karpet. Demikian juga sebagian orang lebih mudah belajar melalui melihat langsung gambar atau diagram yang disebuat dengan cara belajar visual. Sebagian yang lain lebih suka mendengarkan yang disebut gaya belajar auditorial. Sebagian lagi lebih senang belajar dengan cara menggunakan indra perasa atau menggerakkan tubuh yang dikenal dengan gaya belajar kinesthetic. Beberapa orang lebih suka pada teks tercetak atau buku dan yang lain lebih suka berkelompok yang saling berinteraksi. Perilaku-perilaku individu yang seperti inilah yang harus dicari jalan keluarnya sehingga gaya belajar individu dapat seperti itu dapat diwujudkan sehingga tercipta pembelajaran yang disenangi yang pada akhirnya terwujudnya masyarakat berpendidikan.

II. Kompetensi Siswa
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tujuan pendidikan dirumuskan dalam bentuk kompetensi. Kompetensi adalah perpaduan dari pengetahuan, ketrerampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi juga didefenisikan bahwa kompetensi meliputi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat. Dalam konsep pelatihan yang berbasis kompetensi dijelaskan bahwa kompetensi merupakan gabungan antara kerterampilan , pengetahuan dan sikap. Kompetensi digunakan untuk melakukan penilaian terhadap standar, memberikan indikasi yang jelas tentang keberhasilan dalam kegiatan pengembangan, membentuk sistem pengembangan dan dapat digunakan untuk menyusun uraian tugas seseorang.
Untuk merespon bebagai kondisi di atas, maka salah satu kebutuhan yang sangat penting adalah tersedianya sistem pendidikan dan pelatihan yang mampu menghasilkan SDM yang berkualitas setara dengan standar internasional. Untuk melaksanakan sistem pendidikan yang baik dibutuhkan suatu standar kompetensi yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh seseorang untuk melakukan pekerjaan sebagai patokan kinerja yang diharapkan.
Standar kompetensi disusun sedemikian rupa mengacu kepada kesepakatan internasional tanpa harus mengabaikan berbagai aspek dan budaya yang bersifat local atau nasional. Standar konpetansi yang telah ada hendaknya dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak terutama dunia pendidikan dalam hal peningkatan kemampuan dasar siswa serta penyusunan kurikulum.
Dalam kurikulum, kompetensi sebagai tujuan pembelajaran itu dideskripsikan secara eksplisit, sehingga dijadikan standar dalam pencapaian tujuan kurikulum. Kompetensi dasar adalah kemampuan minimal yang harus dicapai peserta didik dalam penguasaan konsep atau materi pelajaran yang diberikan dalam kelas pada jenjang pendidikan tertentu. Kompetensi dasar sebagai tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk perilaku yang bersifat umum sehingga masih sulit diukur ketercapaiannya. Dalam mengembangkan perencanaan salah satunya adalah menjabarkan kompetensi dasar menjadi indikator hasil belajar.
Indikator hasil belajar adalah tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu. Dengan demikian, indicator hasil belajar merupakan kemamuan siswa yang dapat diobservasi.
Banyaknya informasi yang dapat kita capai dalam dunia ini menyebabkan sulit bagi kita untuk membayangkan bahwa kemampuan kita untuk belajar ada batsanya. Ahli-ahli Jiwa telah dapat membedakan tiga macam batas, yaitu:
1. Batas Fisik :
Ia adalah batas keterampilan yang dimungkinkan oleh fisik kita untuk mencapainya. Dalam kenyataan praktisnya kita tidak pernah sampai kepada batas kemampuan tubuh untuk belajar. Artinya bahwa kita tidak samapi kepada titik jenuh dari informasi, sehingga tidak ada satu lowong lagi untuk mendapatkan satu data pun tambahan dari apa yang telah ada pada kita.
2. Batas Praktik :
Batas praktik telah dicapai apabila sesorang telah sampai kepada titik yang setelah itu tidak bertambah lagi kemajuannya, kecuali jika ia mengeluarkan waktu dan tenaga, yang untuk saat ini dianggapnya tidak perlu.
3. Batas yang patut ;
Yaitu kadar yang tidak patut dilampaui, karena tenaga yang dituntutnya, tidak diinginkan oleh yang belajar untuk menggunakannya.

III. Pengembangan Kompotensi Siswa dengan Teori Belajar Behaviorisme
Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan adalah sekolah masih menggunakan cara yang bersifat eversif, dimana para siswa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya terutama untuk menghindari stimulus-stimulus aversif seperti kecaman guru, ejekan dimuka kelas, menghadap kepala sekolah jika tidak membuat tugas di rumah.
Untuk memecahkan masalah untuk perbaikan pendidikan itu pernah diusulkan beberapa pemecahan masalah yang diantaranya :
1. Mendapatkan guru yang berkualitas
2. Mencari terobosan baru untuk menandingi sekolah unggul
3. Menaikkan standar Pembelajaran
4. Mereorganisasi kurikulum.
Akan tetapi pemecahan masalah yang pernah ditawarkan tersebut tidak menyentuh esensi permasalahan dunia pendidikan itu sendiri.
Menurut Skinner satu hal yang perlu dilakukan untuk memecahkan kebuntuan tersebut adalah bagaimana guru bertanggung jawab mengembangkan pada siswa tingkah laku verbal (kompetensi) atau kemampuan siswa yang merupakan pernyataan keterampilan dan pengetahuan mata pelajaran. Kongritnya Skinner menjelaskan yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan siswa atau kompetensi siswa adalah :
1. Membangun khazanah tingkah laku verbal dan non verbal yang menunjukkan hasil belajar.
2. Menghasilkan dengan kemungkinan yang besar, tingkah laku yang disebut minat, antusiasme dan motivasi untuk belajar.
Sehingga dengan tugas seperti ini pembelajaran itu berfungsi memperlancar pemerolehan pola-pola tingkah laku verbal dan non verbal yang perlu dimiliki setiap siswa.
Menurut B. Weiner, dengan teori atribusinya, satu sumbangan penting untuk pendidikan adalah berkenaan dengan analisa terjadinya interaksi di kelas. Hal yang penting diperhatikan dalam interaksi di kelas dalam kontek proses pembelajaran serta dalam rangka meningkatkan kemampuan atau kompetensi siswa ialah ciri siswa, ciri-ciri siswa yang perlu dipertimbangkan ialah perbedaan perseorangan, kesiapan untuk belajar dan motivasi :
1. Perbedaan Perseorangan,
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah tingkat perkembangan siswa dan tingkat rasa harga diri siswa. Untuk mengimbangi adanya perbedaan perseorangan dalam proses pembelajaran dianatarany dapat dilakukan pengajaran dengan kelompok kecil (Cooperative Learning), tutorial, dan belajar mandiri serta belajar individual.

2. Kesiapan untuk belajar
Kesiapan seorang siswa dalam kegiatan pembelajaran sangat mempengaruhi hasil pembelajaran yang bermanfaat baginya. Karena belajar sifatnya kumulatif, kesiapan untuk belajar baru mengacu pada kapabilitas, dimana kesiapan untuk belajar itu meliputi keterampilan-keterampilan yang rendah kedudukannya dalam tata hirarki keterampilan intelktual.
3. Motivasi,
Ciri khas dari teori-teori belajar ialah memperlakukan motivasi sebagai suatu konsep yang dihubungkan dengan asas-asas untuk menimbulkan terjadinya belajar pada diri siswa. Konsep ini memusatkan perhatian pada dilakukannya manipulasi lingkungan yang bisa mendorong siswa seperti membangkitkan perhatian siswa, mempelajari peranan peransang atau membuat agar bahan ajar menarik bagi siswa.
Ketiga hal diatas harus diperhatikan yang dibarengi dengan penciptaan suasana kelas yang menyenangkan sehingga tingkah laku, respon yang dikeluarkan oleh siswa menghasilkan suasan pembelajarn yang nyaman dan menyenangkan akibat dari stimulus lingkungan yang dimanipulasi tersebut.
Disamping ketiga hal diatas yang perlu diperhatikan dalam kontek peningkatan kompetensi siswa, maka kurikulum juga merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan kompetensi siswa dalam pembelajaran.Untuk mengimbangi peningkatan kemampuan siswa dalam kontek tingkah laku, maka kurikulum juga perlu menjadi perhatian sehingga siswa benar-benar memiliki kompetensi yang sangat memadai.
Materi kurikulum harus ditekankan pada mata pelajaran yang sanggup menjawab tantangan global dan perkembangan iptek yang sangat cepat. Disamping itu kurikulum yang dikembangkan harus berlandaskan pendidikan etika dan moral yang dikembangkan dalam mata pelajaran agama dan mata pelajaran lain yang relevan.
Selain itu kurikulum harus bersifat luwes, sederhana dan bisa menampung berbagai kemungkinan perubahan dimasa yang akan datang sebagai dampak dari perkembangan terknologi dan tuntutan masyarakat. Kurikulum hanya bersifat pedoman pokok dalam kegiatan pembelajaran siswa dan dapat dikembangkan dengan potensi siswa, keadaan sumber daya pendukung dan kondisi yang ada.

IV. Sekolah Bertaraf Internasional
Pengembangan kompetensi juga dapat didukung dengan adanya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). SBI memiliki beberapa karakteristik yang mendukung pengembangan kompetensi peserta didik, diantaranya :
1. Aspek Fisik Melatih peserta didik untuk disiplin dan bermotivasi tinggi agar mampu bersaing di dunia internasional
2. Intelektual:
a. Menggunakan standar yang lebih tinggi dari SI dan SKL yang diperkaya dgn adaptasi dan atau adopsi kurikulum negara OECD dan negara maju lain
b. Mengembangkan kemampuan komunikasi peserta didik dengan sekurang-kurangnya satu bahasa asing
c. Menerapkan bidang ICT sebagai daya saing di dunia internasional.
d. Menggunakan sistem satuan kredit semester (SKS)

Selain itu ada beberapa karakteristik tambahan, yaitu :
1. Semua guru mampu memfasilitasi pembelajaran berbasis TIK;
2. Guru mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan mampu mengampu pembelajaran berbahasa Inggris;
3. Minimal 10% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SD/MI;
4. Minimal 20% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMP/MTs; dan
5. Minimal 30% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A untuk SMA/SMK/MA/MAK

Inilah kondisi SBI yang keberadaan diharapkan dapat meningkatkan kualitas peserta didik. Sesuai dengan definisi SBI yaitu Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional.


V. PENUTUP
Dalam setiap proses pembelajaran sebetulnya yang harus dicapai oleh guru adalah standar kompetensi setiap mata pelajaran. Namun, oleh karena standar kompetensi yang harus dicapai siswa memiliki cakupan yang sangat luas, maka dijabarkan pada kompetensi dasar. Kompetensi dasar inilah yang merupakan standar minimal yang harus dikuasai siswa dalam setiap mata pelajaran. Selanjutya untuk melihat keberhasilan pencapaian kompetensi dasar tersebut perlu dirumuskan indicator hasil belajar, sebagai criteria pencapaian kompetensi dasar.
Untuk meningkatkan kompetensi siswa ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya, ciri-ciri siswa antara lain, perbedaan perseorangan, kesiapan belajar dan motivasi yang dibarengi oleh pemanipulasian suasana pembelajaran menjadi lebih disukai oleh siswa sehingga dengan mempertimbangkan kondisi ini apa yang diharapan sesuai dengan tujuan.
Akan tetapi jika mensfesifikasi pendidikan kedalam tingkah laku sama dengan membatasi guru menjadi upaya untuk merubah tingkah laku siswa. Pada hal, pendidikan tidak hanya sebatas tutorial yang akan mengakibatkan pendidikan kurang manusiawi dan terlalu mekanistik. Akan tetapi pendidikan lebih dari itu, dimana pendidikan memerlukan tingkat kecerdasan dan kebebasan berpikir yang tinggi, kompetensi dan moral atau tingkah laku yang kompleks untuk mengarunginya.
Keberadaan sekolah bertaraf internasional juga mendukung pengembangan kompetensi karena pada SBI standar yang digunakan lebih tinggi yang menuntut peserta didik secara aktif mengembangkan kompetensinya.














Daftar Pustaka

Ismail, Imaduddin. 1980. Pengembangan Kemampuan Belajar Pada Anak-Anak. Jakarta : Penerbit Bulan Bintang.
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
http://www.bpgdisdik-jabar.net/materi/0109_TK_04.pdf, tanggal 1 Oktober 2009 jam 09.55
http://www.stainbukittinggi.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=61:pengembangan-kompetensi-siswa&catid=34:tulisan-ilmiah&Itemid=37 tanggal 1 Oktober 2009 jam 09.58
http://www.iyoiye.com/forum/viewtopic.php?f=13&t=1235 tanggal 1 Oktober 2009 jam 10.00

Sabtu, 12 September 2009

Manfaat TIK untuk Matematika

MANFAAT TIK UNTUK PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Konsep dalam matematika adalah abstrak yang memungkinkan kita untuk mengelompokkan (mengklasifikasi) objek/kejadian. Dalam mempelajari konsep-konsep yang abstrak ini sangat diperlukan media pembelajaran yang pas sehingga peserta didik mampu menangkap maksud sebenarnya dari konsep tersebut.

Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menanggung pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Penggunan media pada waktu berlangsung pengajaran setidaknya digunakan guru pada situasi berikut :

a. Bahan pengajaran yang dijelaskan guru kurang dipahami siswa.

b. Terbatasnya sumber pengajaran yang tidak semua sekolah mempunyai buku sumber atau tidak semua bahan pengajaran dalam buku sumber tersebut dalam bentuk media.

c. Perhatian siswa terhadap pengajaran berkurang akibat kebosanan mendengarkan uraian guru.

Teknologi informasi dan komunikasi adalah penyampaian data yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan telah diolah berdasarkan ilmu eksak dan berlandaskan proses teknik sehingga bermanfaat bagi manusia atau pengguna. Informasi adalah inti dari suatu komunikasi. Komunikasi yang berhasilkan dapat ditunjang oleh teknologi informasi dan komunikasi. Biasanya suatu komunikasi dikatakan berhasil bila informasi yang diterima oleh target sama dengan apa yang dikirim oleh pengirim. Namun tingkat keberhasilan komunikasi masih dapat dibedakan berdasarkan kemudahan dan kecepatan proses. Lebih lanjut download disini

Kamis, 21 Mei 2009

Model Pendekatan Pendidikan Matematika

MODEL PENDEKATAN BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA

(MENJAWAB TUNTUTAN BARU TERHADAP MATEMATIKA)


Tugas Akhir Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Dasar-Dasar Proses Pembelajaran Matematika

Dosen Pengampu : Sumaryanta, M.Pd.

Oleh:

Nama : Muhammad Istiqlal

NIM : 07600032


Program Studi Pendidikan Matematika

Fakultas Sains Dan Teknologi

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga

Yogyakarta

2009


DAFTAR ISI



Halaman Cover ………………………………………………………………………… 1

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 3


BAB II PEMBAHASAN.……………………………………………………………… 5

  1. Kedudukan Matematika ………………………………………………….. 5

  2. Matematika Konvensioal …………………………………………………. 6

  3. Paradigma Lama Cara Mengajar ……………………………………….. 8

  4. Evaluasi ……………………………………………………………………. 9

  5. Tuntutan Baru Pendidikan Matematika ………………………………… 9

  6. Matematika Masa Depan ………………………………………………….. 12

  7. Menjawab Tuntutan baru Terhadap Matematika ……………………… 13

  8. Dua model Baru Pendidikan Matematika di Sekolah ……………………. 14

  1. Reciprocal Teaching ……………………………………………………. 15

  2. Pembelajaran Matematika Realistik …………………………………. 16


BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………. 18

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….. 20










BAB I

PENDAHULUAN


Proses pembelajaran matematika di kelas akan sangat ditentukan oleh pandangan seorang guru dan keyakinannya terhadap matematika itu sendiri. Karenanya, ketidaksempurnaan memahami ‘matematika’ dari seorang guru sedikit banyak akan menyebabkan ketidaksempurnaan pada proses pembelajarannya di kelas. Kata lainnya, pandangan dan keyakinan yang benar terhadap pengertian serta definisi matematika diharapkan akan dapat membantu proses pembelajaran matematika yang lebih efektif, efisien, dan sesuai dengan tuntutan zaman. Pada intinya, pengertian matematika yang sesuai dengan tuntutan zaman sangatlah penting dan menentukan keberhasilan pembelajarannya. Masalahnya, jawaban pertanyaan ‘Apa itu Matematika’ tidaklah semudah yang dibayangkan. Jika Anda yang mendapat pertanyaan seperti itu, apa jawaban Anda?

De Lange (2005:8), seorang pakar pendidikan matematika dari Freudenthal Institute (FI), suatu lembaga di Universitas Utrecht yang sangat terkenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) menyatakan: “‘What is mathematics?’ is not a simple question to answer.” Yang jelas, faktanya adalah materi (content) matematika pada tahun 1900 jelas berbeda dengan materi matematika pada tahun 2007. De Lange (2005:8) mencatat ada sekitar 60 sampai 70 cabang matematika yang berbeda. Tidak hanya itu, kebutuhan (needs) para siswa terhadap matematika pada tahun 1900 akan sangat berbeda dengan kebutuhan para siswa terhadap matematika pada saat sekarang1.

Banyak orang menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit dan abstrak (keduanya benar), membosankan, malah menakutkan, hanya punya jawaban tunggal untuk setiap permasalahan, dan hanya dapat dipahami oleh segelintir orang (tidak seharusnya begitu). Ini adalah pandangan lama tentang matematika yang menganggap matematika bersifat absolut, sudah ada di alam sejak semula dan manusia hanya berusaha menemukannya kembali. Pandangan ini diperkuat lagi karena matematika diajarkan sebagai produk jadi yang siap pakai (rumus, algoritma) dan guru mengajarkannya secara mekanistis dan murid hanya pasif.2

Pandangan modern tentang matematika adalah sebaliknya: matematika adalah kegiatan manusia, dapat dipahami semua orang dan malah menyenangkan, berguna dalam kehidupan sehari-hari (problem-solving, modeling), suatu permasalahan mungkin mempunyai lebih dari satu jawaban, atau malah mungkin tidak punya jawaban sama sekali. Pandangan ini tentunya mengubah filsafat pendidikan matematika dan para dosen serta guru perlu memahaminya dan mempraktekannya dalam pekerjaannya.3


Hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya perubahan definisi matematika, pembelajarannya, dan tujuan pembelajaran matematika di kelas. Tujuan dan proses pembelajaran matematika di kelas akan berubah sesuai perubahan waktu dan tuntutan perubahan kebutuhan siswa terhadap matematika. Karenanya, tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan wawasan baru kepada para guru matematika sehingga diharapkan sedikit demi sedikit akan ada perubahan pada proses pembelajaran di kelas ke arah yang lebih baik dan menguntungkan bagi masa depan bangsa ini.

Oleh karena itu, bagaimana sebenarnya kebutuhan masyarakat terhadap matematika dan juga tuntutan apa saja yang harus dipenuhi oleh pendidikan matematika? Pernyataan-pertanyaan seperti itu akan coba diulas dalam makalah yang sangat sederhana ini.










BAB II

PEMBAHASAN


  1. Kedudukan Matematika

Pada masa-masa lalu dan mungkin juga sampai detik ini, tidak sedikit orang tua dan orang awam yang beranggapan bahwa matematika dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan seseorang. Menurut mereka, jika seorang siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik maka ia diprediksi akan berhasil juga mempelajari mata pelajaran lain. Begitu juga sebaliknya, seorang anak yang kesulitan mempelajari matematika akan kesulitan juga mempelajari mata pelajaran lain.Suka atau tidak suka seseorang terhadap matematika, namun tidak dapat dihindari bahwa hidupnya akan senantiasa bertemu dengan matematika, entah itu dalam pembelajaran formal, non formal maupun dalam kehidupan praktis sehari-hari. Matematika merupakan alat bantu kehidupan dan pelayan bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, teknik, ekonomi, farmasi maupun matematika sendiri.

Karena tingkat kesulitan mempelajarinya yang agak tinggi; matematika telah menjadi syarat utama memasuki fakultas-fakultas favorit seperti kedokteran dan teknik; sehingga sejak lama matematika dikenal sebagai saringan bagi para siswa. Kenyataan di kelas menunjukkan bahwa tidak sedikit siswa yang berhasil dengan mudah dan gemilang mempelajarinya namun masih banyak juga yang tidak berhasil mempelajari mata pelajaran bergengsi tersebut. Mengingat begitu pentingya matematika bagi setiap individu, masyarakat, dan bangsa; pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah:

  • Berapa prosen siswa Indonesia yang berhasil dengan gemilang

  • mempelajarinya.

  • Berapa prosen siswa Indonesia yang tidak berhasil mempelajarinya.

  • Jika banyak siswa yang tidak berhasil mempelajarinya, mampukah

warga bangsa ini bersaing dengan bangsa lain?

Mungkin diantara kita banyak yang bertanya bukankah saat ini sudah ada kalkulator dan komputer sehingga matematika sebagai alat bantu kehidupan menjadi berkurang? Memang benar, dengan kehadiran kedua alat tersebut banyak persoalan kehidupan yang awalnya mudah menjadi sulit, dan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Namun perlu diketahui bahwa alat-alat tersebut pun juga menggunakan prinsip matematika. Tanpa adanya prinsip-prinsip dan konsep matematika kedua alat tersebut yaitu kalkulator dan komputer tidak mungkin ada. Begitu pentingnya matematika dalam kehidupan maka tidak aneh jika pembelajaran matematika mengalami perkembangan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Bagaimanakah perkembangan pembelajaran matematika di dalam negeri?

Matematika selain sebagai salah satu bidang ilmu dalam dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang studi yang sangat penting, baik bagi peserta didik maupun bagi pengembangan bidang keilmuan yang lain. Kedudukan matematika dalam dunia pendidikan sangat besar manfaatnya karena matematika adalah alat dalam pendidikan perkembangan dan kecerdasan akal.


  1. Matematika Konvensional

Pengajaran merupakan bagian dalam proses pembelajaran. Pelaksanaan pengajaran di kelas semestinya selalu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengeksplorasikan pengalaman dan pengetahuannya dalam suatu tindakan nyata. pengajaran merupakan perpaduan dari dua aktivitas, yaitu : aktivitas mengajar dan aktivitas belajar. Aktivitas mengajar menyangkut peran seorang guru dalam konteks mengupayakan terciptanya jalinan komunikasi harmonis antara mengajar itu sendiri dengan belajar. Jalinan komunikasi yang harmonis inilah yang menjadi indikator suatu aktivitas dalam proses pengajaran itu baik. Sedangkan aktivitas belajar berhubungan dengan berbagai aktivitas yang melibatkan aktivitas raga dan indera seperti ; mendengarkan, memandang, meraba, menulis atau mencatat, membaca, membuat ikhtisar atau ringkasan dan menggarisbawahi, mengamati tabel-tabel, diagram-diagram dan bagan-bagan, menyusun kertas kerja, mengingat, berpikir, latihan atau praktek, meraba, mencium dan mengecap/ mencicipi.

Jadi jelas perbedaan antara mengajar matematika dan belajar matematika. Paradigma pendidian matematika di sekolah pada masa lalu terkesan sangat monoton dan tidak dapat menjawab tuntutan terhadap kebutuhan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika oleh sekolah di Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh pembelajaran konvensional dengan paradigma mengajarnya. Siswa diposisikan sebagai obyek, siswa dianggap tidak tahu atau belum tahu apa-apa, sementara guru memosisikan diri sebagai yang mempunyai pengetahuan. Guru ceramah dan menggurui, otoritas tertinggi adalah guru. Penekanan yang berlebihan pada isi dan materi diajarkan secara terpisah-pisah. Materi pembelajaran matematika diberikan dalam bentuk jadi. Dan, semua itu terbukti tidak berhasil membuat siswa memahami dengan baik apa yang mereka pelajari. Penguasaan dan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika lemah karena tidak mendalam. Akibatnya, prestasi belajar matematika siswa rendah. Hampir setiap tahun matematika dianggap sebagai batu sandungan bagi kelulusan sebagian besar siswa. Selain itu, pengetahuan yang diterima siswa secara pasif menjadikan matematika tidak bermakna bagi siswa.

Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan kolonial, pemerintah berbenah diri menyusun program pendidikan. Matematika diletakkan sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Saat itu pembelajaran matematika lebih ditekankan pada ilmu hitung dan cara berhitung. Urutan-urutan materi seolah-olah telah menjadi konsensus masyarakat. Karena seolah-olah sudah menjadi konsensus maka ketika urutan dirubah sedikit saja protes dan penentangan dari masyarakat begitu kuat. Untuk pertama kali yang diperkenalkan kepada siswa adalah bilangan asli dan membilang, kemudian penjumlahan dengan jumlah kurang dari sepuluh, pengurangan yang selisihnya positif dan lain sebagainya.

Kekhasan lain dari pembelajaran matematika konevensional adalah bahwa pembelajaran lebih menekankan hafalan dari pada pengertian, menekankan bagaimana sesuatu itu dihitung bukan mengapa sesuatu itu dihitungnya demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak bukan kegunaan, bahasa/istilah dan simbol yang digunakan tidak jelas, urutan operasi harus diterima tanpa alasan, dan lain sebagainya.

Urutan operasi hitung pada era pembelajaran matematika tradisional adalah kali, bagi, tambah dan kurang. ,maksudnya bila ada soal dengan menggunakan operasi hitung maka perkalian harus didahulukan dimanapun letaknya baru kemudian pembagian, penjumlahan dan pengurangan. Urutan operasi ini mulai tahun 1974 sudah tidak dipandang kuat lagi banyak kasus yang dapat digunakan untuk menunjukkan kelemahan urutan tersebut.

Contoh

12:3 jawabanya adalah 4

dengan tanpa memberi tanda kurung , soal di atas ekuivalen dengan

9+3:3, berdasar urutan operasi yaitu bagi dulu baru jumlah dan hasilnya adalah 10. Perbedaan hasil inilah yang menjadi alasan bahwa urutan tersebut kurang kuat.4

Sementara itu cabang matematika yang diberikan di sekolah menengah pertama adalah aljabar dan geometri bidang. Geometri ini diajarkan secara terpisah dengan geometri ruang selama tiga tahun. Sedangkan yang diberikan di sekolah menengah atas adalah aljabar, geometri ruang, goneometri, geometri lukis, dan sedikit geometri analitik bidang. Geometri ruang tidak diajarkan serempak dengan geometri ruang, geomerti lukis adalah ilmu yang kurang banyak diperlukan dalam kehidupan sehingga menjadi abstrak dikalangan siswa.


  1. Paradigma Lama Cara Mengajar

Pada proses belajar matematika di sekolah, guru cenderung menuliskan definisi atau teorema beserta buktinya dipapan tulis, dilanjutkan contoh penerapan teorema tersebut dalam penyelesaian soal, siswa mencatat apa yang dijelaskan guru dan contoh penyelesaian soal yang diberikan. Selain itu, guru menuliskan soal-soal dipapan tulis dan siswa diminta mengerjakan, serta guru meminta siswa untuk menuliskan hasilpekerjaannya di papan tulis.

Kondisi demikian bagi siswa yang pandai tidak merupakan masalah, tapi bagi siswa yang kurang memiliki kompetensi matematika atau membenci matematika, keikutsertaannya dalam belajar mengajar dalam kondisi tersebut tidak menyenangkan. Apalagi siswa yang demikian diminta guru untuk menyelesaikan soal di papan tulis, keluar keringat dingin seolah-olah mau pingsan. Pada situasi demikian tidak dimungkinkan adanya pertumbuhan kecerdasan emosional yang bermanfaat bagi siswa dalam kehidupan masyarakat.

Kesalahan-kesalahan konsep yang diajarkan tidak pernah mendapatkan cara untuk memperbaikinya, guru menganggap dirinya "serba bisa" dan menganggap apa yang diberikan kepada siswanya benar. Guru tidak pernah mendapatkan arahan yang benar bagaimana mengubah paradigma pengajaran menjadi pembelajaran, bagaimana menempatkan dirinya sebagai fasilitator, bukan selalu sebagai nara sumber informasi.




  1. Evaluasi

Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh5.

Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu tersebut.


  1. Tuntutan Baru Pendidikan Matematika

Masalah tidak senangnya siswa terhadap matematika sudah bukan rahasia umum. Perilaku-perilaku negatif siswa dalam belajar matematika merupakan muara sikap negatif siswa terhadap matematika. Akhirnya sikap negatif tersebut memungkinkan siswa tidak bergairah dalam belajar matematika dan pada akhirnya tidak memperoleh prestasi tinggi.

Banyak pengamat pendidikan matematika yang menganalisis bahwa kegiatan pendidikan matematika di sekolah merupakan sesuatu yang harus dirubah karena selama ini produk yang dihasilkan kurang bis menjawab tantangan atau tuntutan msyarakat. Dari pernyataan seperti inilah muncul optimisme akan masa depan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu. Namun, masih juga tersisa keraguan dalam implementasinya ketika pulang kembali di sekolah dan menatap realitas pembelajaran matematika di kelas-kelas kita. Bagaimana mengimplementasikan gagasan dan pemikiran itu dalam konteks sekolah di Indonesia, mengingat konteks siswa kita yang sangat plural dan beragam? Kiranya perlu penyelarasan atau penyesuaian dalam mengimplementasikan gagasan dan pemikiran tersebut dengan konteks masing-masing sekolah. Dan, hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan pemahaman yang mendalam dari para guru mengenai konteks siswa, sekolah, masyarakat, dan budaya yang "hidup" di lingkungan sekolah masing-masing.

Tuntutan lain adalah bagaimana guru mengusahakan bahan ajar dalam pembelajaran matematika yang kontekstual dan realistik. Sejauh ini buku ajar matematika yang dipakai di sekolah jauh sekali dari yang namanya konsep matematika konstruktif atau realistik. Guru mau tidak mau dituntut untuk bekerja keras dan terus belajar. Masalah kontekstual dan realistik tidak mungkin ditemukan jika guru hanya diam, berpangku tangan, guru mesti terus bergerak, menggali, dan terus-menerus berusaha membumikan konsep matematika dengan menemukan hubungan atau keterkaitan bahan ajar matematika dan persoalan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan bahan ajar yang belum tersedia sebenarnya juga bisa menjadi peluang bagi guru untuk menyusun bahan ajar sendiri. Guru satu dengan yang lain bisa berkolaborasi sehingga memperkaya satu sama lain. Bukan hal yang mustahil jika hasil kolaborasi kelak menjadi buku materi ajar matematika realistik yang akan semakin memperkaya khazanah buku teks siswa di Indonesia.

Sudah bukan rahasia bahwa banyak diantara guru-guru kita di jenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai guru kelas menjadikan mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan matematika, mata pelajaran yang belum tentu menarik baginya bahkan bisa jadi guru tesebut tidak mengenal matematika secara memadai. Akibatnya, matematika tidak diajarkan secara utuh melainkan hanya bagian-bagian yang ”dikuasainya” dan meninggalkan bagian-bagian yang lainnya. Inilah kemudian yang menjadi awal mengapa begitu banyak anak-anak gagal menyelesaikan rumah-rumahan kartu mereka dan dengan itu pula anak-anak merasa ”frustasi” dan tidak lagi bergairah belajar matematika.

Kompetensi atau kemampuan yang menurut De Lange (2004:12) harus dipelajari dan dikuasai para siswa selama proses pembelajaran matematika di kelas adalah:

  1. Berpikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning).

  2. Berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation). Dalam arti memahami pembuktian, mengetahui bagaimana membuktikan, mengikuti dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan menggunakan heuristics (strategi), dan menyusun argumentasi.

  3. Berkomunikasi secara matematis (mathematical communication). Dapat menyatakan pendapat dan ide secara lisan, tulisan, maupun bentuk lain serta mempu memahami pendapat dan ide orang lain.

  4. Pemodelan (modelling). Menyusun model matematika dari suatu keadaan atau situasi, menginterpretasi model matematika dalam konteks lain atau pada kenyataan sesungguhnya, bekerja dengan model-model, memvalidasi model, serta menilai model matematika yang sudah disusun.

  5. Penyusunan dan pemecahan masalah (problem posing and solving). Menyusun, memformulasi, mendefinisikan, dan memecahkan masalah dengan berbagai cara.

  6. Representasi (representation). Membuat, mengartikan, mengubah, membedakan, dan menginterpretasi representasi dan bentuk matematika lain; serta memahami hubungan antar bentuk atau representasi tersebut.

  7. Simbol (symbols). Menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan simbol baik formal maupun teknis.

  8. Alat dan teknologi (tools and technology). Menggunakan alat bantu dan alat ukur, termasuk menggunakan dan mengaplikasikan teknologi jika diperlukan.


Perhatikan kedelapan kompetensi yang ditawarkan De Lange di atas yang menunjukkan pentingnya mempelajari matematika dalam menata kemampuan berpikir para siswa, bernalar, memecahkan masalah, berkomunikasi, mengaitkan materi matematika dengan keadaan sesungguhnya, serta mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi. Sumber-sumber lain menawarkan hal yang sama namun dengan formulasi kalimat yang agak berbeda. Contohnya, National Council of Teachers of Mathematics atau NCTM (2000), menyatakan bahwa standar matematika sekolah meliputi standar isi (mathematical content) dan standar proses (mathematical processes). Standar proses meliputi pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), katerkaitan (connections), komunikasi (communication), dan representasi (representation).



  1. Matematika Masa Depan

Sudah saatnya paradigma mengajar diganti dengan paradigma belajar. Paradigma belajar ini sejalan dengan teori konstruktivisme. Dalam paradigma belajar, siswa diposisikan sebagai subyek. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tapi suatu proses yang harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksi siswa, tidak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima secara pasif.

Dengan demikian, siswa sendirilah yang harus aktif. Paradigma belajar juga seturut dengan teori Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan Freudenthal bahwa pengetahuan matematika dikreasi, bukan ditemukan sebagai sesuatu yang sudah jadi. Oleh karena itu, siswa harus secara aktif mengkreasi (mengkreasi kembali) pengetahuan yang ingin dimilikinya. Tugas guru bukan lagi aktif mentransfer pengetahuan, tetapi menciptakan kondisi belajar dan merencanakan jalannya pembelajaran dengan materi yang sesuai dan representatif serta realistik bagi siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal.

Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran matematika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup latar belakang keluarga, keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar, pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang diyakini, itu semua merupakan konteks nyata siswa. Konsekuensinya, dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktif atau realistik, maka pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan berbagai latar belakang dan konteksnya mendapat kesempatan untuk mengonstruksi pengetahuannya dengan strategi sendiri.

Salah satu faktor yang berperan dalam pembelajaran matematika adalah budaya kelas. Budaya kelas tumbuh atau dibangun dari interaksi sosial di dalam kelas dan guru memiliki peran paling dominan dalam membangun budaya kelas tersebut. Perilaku, sikap, dan kepercayaan yang dimiliki guru akan berpengaruh terhadap budaya kelas yang terbentuk. Sebagai contoh, jika guru memiliki kepercayaan yang rendah terhadap siswa, akan sulit bagi guru memercayakan proses pembelajaran pada aktivitas siswa, seperti diskusi, mengemukakan ide, menemukan sendiri konsep matematika.

Selain itu faktor Budaya kelas merupakan bentuk-bentuk kelas yang dicirikan oleh "menjelaskan dan pembenaran" dalam artian siswa diharapkan dapat menjelaskan dan membenarkan ide-ide serta penyelesaian yang mereka berikan terhadap suatu persoalan matematika.

Pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalah-masalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal, dekat dengan kehidupan riil sehari-hari siswa. Masalah kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika dalam membantu siswa mengembangkan pengertian terhadap konsep matematika yang dipelajari dan juga bisa digunakan sebagai sumber aplikasi matematika. Masalah kontekstual dapat digali dari (1) Situasi Personal Siswa; situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, dan sebagainya. (2) Situasi Sekolah/Akademik; situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berkait dengan proses pembelajaran. (3) Situasi Masyarakat; situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar di mana siswa tinggal. (4) Situasi Saintifik/matematik; situasi yang berkaitan dengan fenomena substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.

Dalam proses pembelajaran matematika, tentu saja sering kali siswa juga mengalami kesulitan dengan aktivitas belajarnya. Oleh karena itu, guru perlu memberikan bantuan/topangan kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Topangan yang bisa diberikan guru, misalnya, pemberian petunjuk kecil, pemberian model prosedur penyelesaian tugas, pemberitahuan tentang kekeliruan dalam langkah pengerjaan soal, mengarahkan siswa pada informasi tertentu, menawarkan sudut pandang lain dan usaha menjaga agar rasa frustrasi siswa terhadap tugas tetap berada pada tingkat yang masih dapat ditanggung.


  1. Menjawab Tuntutan Baru Terhadap Matematika

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);

  2. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;

  3. Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan

  4. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Untuk memenuhi empat ciri-ciri di atas perlu diadakan renovasi radikal terhadap system pembelajaran matematika yang saat ini sedang berlangsung. Strategi-strategi yang diperlukan untuk mendukung berjalannya proses renovasi tersebut, yaitu:

  1. Strategi pertama, Seting kelas dalam pembelajaran. Seting kelas yang baik dimungkinkan perkembangan kecerdasan emosional apabila siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil, saling mengutarakan hasil pemikirannya, menghargai pendapat teman, menyelesaikan tugas bersama-sama, mempresentasikan apa yang telah dikerjakan kelompok, dan mendiskusikan hasil kerja masing-masing kelompok.

  2. Strategi kedua adalah pembelajaran yang bermakna. Langkahnya adalah menyeleksi materi yang akan dipelajari siswa, mengorganisasi materi yang dipilih sejalan dengan alam pikiran siswa. Guru harus memperkirakan bahwa materi yang dipilih dapat merangsang sensori ingatan, sehingga memori siswa mau bekerja untukmenerima rangsangan tersebut. Apa yang dipelajari dapat terintegrasi kedalam organisasi pengetahuan setelah memori siswa bekerja untukmemperoleh daya ingat yang lama.

  3. Strategi ketiga yaitu siswa dapat mengkonstruk kognitif sendiri. Seorang guru matematika lebih banyak menggunakan buku pelajaran sebagai acuan dalam belajar. Sebenarnya materi buku memang bersifat informatif, bagi guru seharusnya memiliki kompetensi untuk mengelola materi tersebut agar siswa dapat membangun konstruk kognitifnya.


  1. Dua Model Baru Pendidikan Matematika di Sekolah.

Setelah mengetahui berbagai tuntutan terhadap pendidikan matematika serta bagaimana ketidakefektifan pembelajaran matematika saat ini, maka penulis menawarkan dua model pendekatan baru yang digunakan untuk merubah paradigma pendidikan matematika di sekolah dan untuk menjawab tuntutan-tuntutan yang terjadi pada masyarakat saat ini. Dua model pendekatan tersebut adalah Reciprocal Teaching dan Pendidikan Matematika Realistik.


  1. Pendekatan Reciprocal Teaching

Reciprocal Teaching adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menerapkan empat strategi pemahaman mandiri, yaitu menyimpulkan bahan ajar, menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya, menjelaskan kembali pengetahuan yang telah diperolehnya, kemudian memprediksikan pertanyaan selanjutnya dari persoalan yang disodorkan kepada siswa (http://digilib.upi.edu/). Palincsar (1986) describes the concept of reciprocal teaching: Reciprocal teaching refers to an instructional activity that takes place in the form of a dialogue between teachers and students regarding segments of text. The dialogue is structured by the use of four strategies: summarizing, question generating, clarifying, and predicting. The teacher and students take turns assuming the role of teacher in leading this dialogue.6

Konsep di atas, menjelaskan tentang penerapan empat strategi pemahaman dalam pendekatan Reciprocal Teaching yaitu: merangkum (meringkas) atau menyimpulkan, menyusun dan menyelesaikan, menjelaskan kembali, dan memprediksi pertanyaan. Menurut Palincsar dan Brown seperti yang dikutip oleh Slavin (1997) bahwa strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran atau pendekatan yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik Dengan menggunakan pendekatan reciprocal teaching siswa diajarkan empat strategi pemahaman dan pengaturan diri spesifik, yaitu merangkum bacaan, mengajukan pertanyaan, memprediksi materi lanjutan, dan mengklarifikasi istilah-istilah yang sulit dipahami. Untuk mempelajari strategi-strategi tersebut guru dan siswa membaca bahan pelajaran yang ditugaskan di dalam kelompok kecil, guru memodelkan empat keterampilan tersebut di atas (Nur, 2004). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan Reciprocal Teaching merupakan strategi dalam pembelajaran yang menekankan pada pemahaman mandiri siswa, sehingga dapat meningkatkan penguasaan konsep matematika7.


  1. Pembelajaran Matematika Realistik8

Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil”. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.

Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.

Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar.

Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap individu. Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut:

  1. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.

  2. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

  3. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan.

  4. Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan.






BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

    1. Matematika selain sebagai salah satu bidang ilmu dalam dunia pendidikan juga merupakan salah satu bidang studi yang sangat penting, baik bagi peserta didik maupun bagi pengembangan bidang keilmuan yang lain. Kedudukan matematika dalam dunia pendidikan sangat besar manfaatnya karena matematika adalah alat dalam pendidikan perkembangan dan kecerdasan akal.

    2. Pembelajaran matematika konevensional adalah bahwa pembelajaran lebih menekankan hafalan dari pada pengertian, menekankan bagaimana sesuatu itu dihitung bukan mengapa sesuatu itu dihitungnya demikian, lebih mengutamakan kepada melatih otak bukan kegunaan, bahasa/istilah dan simbol yang digunakan tidak jelas, urutan operasi harus diterima tanpa alasan, dan lain sebagainya.

    3. Pada pembelajaran Matematika konvensional, kesalahan-kesalahan konsep yang diajarkan tidak pernah mendapatkan cara untuk memperbaikinya, guru menganggap dirinya "serba bisa" dan menganggap apa yang diberikan kepada siswanya benar. Guru tidak pernah mendapatkan arahan yang benar bagaimana mengubah paradigma pengajaran menjadi pembelajaran, bagaimana menempatkan dirinya sebagai fasilitator, bukan selalu sebagai nara sumber informasi.

    4. Pembelajaran matematika di sekolah dapat efektif dan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran matematika memerhatikan konteks siswa. Konteks nyata dari kehidupan siswa yang mencakup latar belakang keluarga, keadaan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kenyataan-kenyataan hidup yang lain. Pengertian-pengertian yang dibawa siswa ketika memulai proses belajar, pendapat dan pemahaman yang diperoleh dari studi sebelumnya atau dari lingkungan hidup mereka, juga perasaan, sikap dan nilai-nilai yang diyakini, itu semua merupakan konteks nyata siswa. Konsekuensinya, dikaitkan dengan kecenderungan perubahan pembelajaran matematika ke arah pendekatan konstruktif atau realistik, maka pembelajaran matematika harus dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap siswa dengan berbagai latar belakang dan konteksnya mendapat kesempatan untuk mengonstruksi pengetahuannya dengan dengan strategi sendiri.

    5. Dua model pendekatan baru yang digunakan untuk merubah paradigma pendidikan matematika di sekolah dan untuk menjawab tuntutan-tuntutan yang terjadi pada masyarakat saat ini. Dua model pendekatan tersebut adalah Reciprocal Teaching dan Pendidikan Matematika Realistik.



















DAFTAR PUSTAKA

http://jurotunguru.wordpress.com/2008/01/22/pendidikan-matematika-realistik/

http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/25/pendidikan-matematika-realitik/

http://one.indoskripsi.com/node/3535

http://www.mathematic.transdigit.com/mathematic-article/portofolio-dan-paradigma-baru-dalam-penilaian-matematika.html

www.pmri.or.id/paper/pap03.doc

www.pmri.or.id/pww.pmri.or.id/paper/pap01.doc

http://id.shvoong.com/social-sciences/education/1685335-pendidikan-matematika-bagi-magang-guru/

http://www.mathematic.transdigit.com/mathematic-article/portofolio-dan-paradigma-baru-dalam-penilaian-matematika.html

http://www.mail-archive.com/ppiindia@yahoogroups.com/msg50378.html

http://media.diknas.go.id/media/document/5214.pdf

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0610/30/humaniora/3052338.htm

http://www.uny.ac.id/data.php?i=1&m=951da6b7179a4f697cc89d36acf74e52&k=5788






2 http://makalahkumakalahmu.wordpress.com/2009/03/25/pendidikan-matematika-realitik/


3 ibid


4 http://jokobando.tripod.com/index_files/perkemb.htm


6 http://pendidikan-matematika.blogspot.com/2009/03/proposal-pendekatan-reciprocal-teaching.html


7 Ibid


8 http://jurotunguru.wordpress.com/2008/01/22/pendidikan-matematika-realistik/


Template by : kendhin x-template.blogspot.com